Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam postingan 'Apakah itu Puitis?'. Intinya, puitis itu mempunyai sifat keindahan layaknya puisi. Maka dalam hal ini yang disebut sebagai puitis ialah kata (lebih tepatnya kalimat) yang diungkapkan dengan rangkaian yang indah.
Kata-kata di atas ialah kalimat puitis wacana hujan yang berkaitan dengan cinta. Bisa jadi, kata-kata puitis wacana hujan yang menggambarkan bencana. Misalnya:
Kedua kalimat di atas (6) dan (7) merupakan penggambaran petaka (banjir) yang diungkapkan dengan puitis. Jadi, kalimat ini mengambarkan bahwa, tidak selamanya.
Selanjutnya kita baca kata-kata puitis wacana kehidupan sehari-hari:
Selanjutnya kita baca bersama contoh-contoh kata puitis yang klise, yang sering kita dengar:
Cobalah susun kata-kata puitismu sendiri. Pasti lebih mengena!
Rangkaian yang indah itulah yang ibarat puisi.
Hal yang bisa disampaikan dengan puitis bukan hanya persoalan yang indah, persoalan cinta, persoalan kebahagiaan. Semua hal bisa diungkapkan dengan kata-kata puitis.
Berikut ini ialah beberapa teladan kata dan kalimat yang puitis. Baik kata-kata puitis yang sudah klise (terlalu sering diucapkan dan digunakan) maupun kata-kata puitis yang baru, dan mungkin tidak pernah didengar dan diketahui.
Namun demikian, kata-kata dianggap puitis bagi sebagian orang belum tentu dianggap puitis juga oleh orang lain. Maka dari itu, sebelum membaca, mohon maafkan jikalau kata-kata berikut ini dianggap kurang puitis.
Kata-kata puitis wacana hujan:
(1) Hujan akan tetap tiba lagi, walau terjatuh berkali-kali.
(2) Adakah yang lebih nrimo dari hujan? yang sudi jatuh tanpa mengarap akibat lagi.
(3) Hujan ini, biar turut menyejukkan hatimu yang lagi gundah.
(4) Biarkan hujan ini, turut menghapus jejak dan rinduku padamu.
(5) Jika hujan ini tak bisa membasahi kering jiwamu, air mata mana lagi yang harus saya curahkan?
Kata-kata di atas ialah kalimat puitis wacana hujan yang berkaitan dengan cinta. Bisa jadi, kata-kata puitis wacana hujan yang menggambarkan bencana. Misalnya:
(6) Hujan tak pernah bersalah pada alam, kita saja yang mengusiknya. Ini hanya peringatan dari-Nya.
(7) Tidaklah salah hujan yang mencurah, tidak salah air yang melimpah. Kita saja yang tidak mesra, dengan limpahan air yang menyentuh atap rumah kita.
Kedua kalimat di atas (6) dan (7) merupakan penggambaran petaka (banjir) yang diungkapkan dengan puitis. Jadi, kalimat ini mengambarkan bahwa, tidak selamanya.
Selanjutnya kita baca kata-kata puitis wacana kehidupan sehari-hari:
(8) Biarkan saya mengayuh sepedaku, melawan terpaan angin dan terik mentari yang menyengat. Demi masa depanku yang masih harus kuperjuangkan.Pada dasarnya, kalimat di atas (8) bisa ditulis dengan tidak puitis mirip ini: aku pergi sekolah dengan bersepeda, angin kencang, dan matahari sangat terik. Ini kulakukan untuk mencapai cita-cita.
(9) Sang saka dwiwarna berkibar dengan gagahnya di angkasa.
(10) Sang merah putih berdansa bersama sepoi angin di ujung tiang tertinggi.Kalimat (9) dan (10) jikalau ditulis dengan kata yang tidak puitis: Bendera merah putih berkibar ditiup angin.
Selanjutnya kita baca bersama contoh-contoh kata puitis yang klise, yang sering kita dengar:
(11) Wajahmu indah bagaikan rembulan purnama;
(12) Beribu perempuan yang ada di dunia, hanya kaulah yang kusuka;
(13) Kurelakan kamu pergi dengan yang lain, alasannya ialah cinta tak harus memiliki;
(14) Semua akan indah pada waktunya
(15) Telah kuberikan segala-galanya untukmu.Contoh-contoh di atas ialah teladan kata puitis yang sudah terlalu klise. Menjadi enek untuk mendengarnya. Lebih baik jangan dipakai lagi.
Cobalah susun kata-kata puitismu sendiri. Pasti lebih mengena!