pustamun.blogspot.com - Puisi yakni rekaman keadaan dalam suatu zaman. Untuk membaca sebuah zaman, sanggup pula dilihat dari karya-karya puisi yang dihasilkan di zaman itu. Bagaimana kondisi masyarakatnya, apa yang terjadi, dan pandangan para sastrawan, sanggup dilihat dari karya puisinya.
Salah satu puisi yang menangkap fenomena zaman yakni Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak karya Taufik Ismail. Puisi ini, ibarat halnya puisi-puisi karya Taufiq Ismail yang lainnya, juga sarat akan makna. Biasanya, Taufiq Ismail memakai simbol-simbol yang biasa diketahui di kehidupan sehari-hari.
Jika kita tidak memahami lapis makna selanjutnya, sanggup jadi kita sanggup gagal paham akan makna yang lebih dalam kepada puis karya Taufiq Ismail. Maka dari itu, klarifikasi wacana puisi Taufiq Ismail diperlukan. Agar makna yang lebih dalam sanggup menerima klarifikasi yang memadai.
Sebelum kita urai klarifikasi wacana makna puis Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak ada baiknya kita baca dulu puisi tersebut:
Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Di tepi desa kami ada sebuah tebing yang curam
Menghadap ke jurang yang dalam
Di atas tebing itu ada tanah datar tidak mengecewakan luasnya
Di sana belum dewasa kecil sanggup bermain-main leluasa
Berkejar-kejaran, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa
Karena penduduk desa cinta pada belum dewasa mereka
Masih waras dan tak mau belum dewasa celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana
Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuninya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya
Nah, pada suatu hari
Ada belum dewasa ABG berdemonstrasi
Menuntut yang berdasarkan mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan bunyi yang diusahakan harmoni
"Kami menolak pagar tebing, apa pun bentuknya
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Bermain, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berkejar-kejaran tak ada batasnya
Apa itu pagar? Kenapa dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kemerdekaan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"
Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, ini ada apa
Kok jadi tegang suasana
Barulah situasi jadi agak reda, karena
Ternyata yang berdemo itu, belum dewasa rabun dan buta
"Saudara-saudara, ABG-ABG ini jangan dicerca
Mereka punya kelainan dalam instrumen mata
Banyak yang rabun, mungkin juga buta
Kena virus tiba dari kota, luar desa kita
Konsep tebing dan jurang, tak masuk kebijaksanaan mereka
Tak tampak ancaman kedua-duanya
Beritahu mereka baik-baik, sabar-sabar senantiasa
Masih banyak urusan lain di desa kita."
Diksi Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak
Diksi sanggup dimaknai sebagi pemilihan dan penggunaan kata. Nah, kata-kata yang dipilih dan digunakan oleh Taufiq Ismail dalam Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak adalah kata-kata yang sederhana. Yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan berupa kata-kata 'puitis nan indah'.
Penggunaan istilah sehari-hari dalam puisi lebih menekankan penyampaian makna puisi, daripada sekadar keindahan puisnya.
Dari pilihan kata ini, sudah tampak terang penguatan makna yang ingin disampaikan pada para pembaca puisi tersebut.
Penggunaan istilah yang sederhana dan biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari ini tidak lantas menghilangkan semua bentuk keindahannya. Taufiq Ismail masih memperhatikan penggunaan rima dalam bait-bait puisi tersebut.
Bisa dilihat, masing-masing bait dalam puisi di atas mengandung rima yang sama. Contohnya bait pertama (anak judul):
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Bunyi final masing-masing baris sama. Sama-sama diakhiri bunyi -as. Hal ini menunjukkan, aspek keindahan bunyi puisi tetap diperhatikan. Begitu juga dengan bait-bait puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak yang lainnya.
Makna Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak
Melalui puisi ini, Taufiq Ismail sedang mengajak bicara para sineas muda. Pelaku film. Yang merasa ingin bebas.
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Di tepi desa kami ada sebuah tebing yang curam
Menghadap ke jurang yang dalam
Di atas tebing itu ada tanah datar tidak mengecewakan luasnya
Di sana belum dewasa kecil sanggup bermain-main leluasa
Berkejar-kejaran, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa
Bagian bait kedua ini, menggambarkan kondisi desa sebagai metafor dari Indonesia. Anak-anak perumpamaan dari masayarakat Indonesia. Bermain dan tertawa yakni bentuk menikmati hiburan film dan televisi.
Karena penduduk desa cinta pada belum dewasa mereka
Masih waras dan tak mau belum dewasa celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana
Pada bab ini, Taufiq Ismail membela 'penduduk desa' sebagai perumpamaan dari Negara. Yang waras. Yang membatasi anak-anaknya (masyarakat) biar tidak terjerumus ke jurang (hal negatif) yang berbahaya. Bagi sikap, budi, dan pemikiran. Maka gar tidak terjerumus ke situ dibuatlah pagar atau batasan. Mana yang boleh mana yang tidak. Jadi, pagar ini merupakan perumpamaan dari sensor. Tapi kondisinya sudah tua, dari kayu (rapuh) dan kekuatan yang terbatas. Artinya masih sanggup ditembus. Dilanggar.
Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuninya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya
Bait ini menggambarkan betapa berbahayanya jurang itu. Sangat keras. Berduri, buas. Ini mendakan bahwa jikalau masyarakat hingga terjerumus ke situ sanggup berakibat sangat fatal. Tidak ada kata 'mati' dalam puisi itu. Karena yang jaga yakni wangsit dan perilaku budaya yang rusak dari tayangan film dan televisi. Hingga butuh disensor. Yang paling parah yakni gegar otaknya. Yaitu kondisi rusaknya pedoman belum dewasa generasi penerus bangsa.
Nah, pada suatu hari
Ada belum dewasa ABG berdemonstrasi
Menuntut yang berdasarkan mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan bunyi yang diusahakan harmoni
Bait ini berisi citra adanaya kelompok yang mengatasnamakan hak asasi ingin menghilangkan pagar. Dalam puisi ini, oleh Taufiq Ismail disebut sebagai ABG. ABG identik dengan anak usia labil yang masih belum punya pendirian yang terang dan pikiran yang matang. Jadi, kelompok orang yang ingin menghapus batasan sensor dan hukum yakni orang-orang labil.
"Kami menolak pagar tebing, apa pun bentuknya
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Bermain, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berkejar-kejaran tak ada batasnya
Apa itu pagar? Kenapa dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kemerdekaan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"
Bait puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak ini berisi wacana kebijaksanaan yang dibangun oleh para penentang hukum pembatasan (sensor). Dengan dalih bahwa hukum itu kuno, bertentangan dengan kemerdekaan. Sehingga tidak bebas. Seharusnya dilarang ada batasan sama sekali dalam berekspresi.
Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, ini ada apa
Kok jadi tegang suasana
Barulah situasi jadi agak reda, karena
Ternyata yang berdemo itu, belum dewasa rabun dan buta
"Saudara-saudara, ABG-ABG ini jangan dicerca
Mereka punya kelainan dalam instrumen mata
Banyak yang rabun, mungkin juga buta
Kena virus tiba dari kota, luar desa kita
Konsep tebing dan jurang, tak masuk kebijaksanaan mereka
Tak tampak ancaman kedua-duanya
Beritahu mereka baik-baik, sabar-sabar senantiasa
Masih banyak urusan lain di desa kita."
Salah satu puisi yang menangkap fenomena zaman yakni Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak karya Taufik Ismail. Puisi ini, ibarat halnya puisi-puisi karya Taufiq Ismail yang lainnya, juga sarat akan makna. Biasanya, Taufiq Ismail memakai simbol-simbol yang biasa diketahui di kehidupan sehari-hari.
Jika kita tidak memahami lapis makna selanjutnya, sanggup jadi kita sanggup gagal paham akan makna yang lebih dalam kepada puis karya Taufiq Ismail. Maka dari itu, klarifikasi wacana puisi Taufiq Ismail diperlukan. Agar makna yang lebih dalam sanggup menerima klarifikasi yang memadai.
Sebelum kita urai klarifikasi wacana makna puis Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak ada baiknya kita baca dulu puisi tersebut:
Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Di tepi desa kami ada sebuah tebing yang curam
Menghadap ke jurang yang dalam
Di atas tebing itu ada tanah datar tidak mengecewakan luasnya
Di sana belum dewasa kecil sanggup bermain-main leluasa
Berkejar-kejaran, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa
Karena penduduk desa cinta pada belum dewasa mereka
Masih waras dan tak mau belum dewasa celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana
Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuninya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya
Nah, pada suatu hari
Ada belum dewasa ABG berdemonstrasi
Menuntut yang berdasarkan mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan bunyi yang diusahakan harmoni
"Kami menolak pagar tebing, apa pun bentuknya
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Bermain, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berkejar-kejaran tak ada batasnya
Apa itu pagar? Kenapa dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kemerdekaan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"
Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, ini ada apa
Kok jadi tegang suasana
Barulah situasi jadi agak reda, karena
Ternyata yang berdemo itu, belum dewasa rabun dan buta
"Saudara-saudara, ABG-ABG ini jangan dicerca
Mereka punya kelainan dalam instrumen mata
Banyak yang rabun, mungkin juga buta
Kena virus tiba dari kota, luar desa kita
Konsep tebing dan jurang, tak masuk kebijaksanaan mereka
Tak tampak ancaman kedua-duanya
Beritahu mereka baik-baik, sabar-sabar senantiasa
Masih banyak urusan lain di desa kita."
Diksi Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak
Diksi sanggup dimaknai sebagi pemilihan dan penggunaan kata. Nah, kata-kata yang dipilih dan digunakan oleh Taufiq Ismail dalam Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak adalah kata-kata yang sederhana. Yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan berupa kata-kata 'puitis nan indah'.
Penggunaan istilah sehari-hari dalam puisi lebih menekankan penyampaian makna puisi, daripada sekadar keindahan puisnya.
Dari pilihan kata ini, sudah tampak terang penguatan makna yang ingin disampaikan pada para pembaca puisi tersebut.
Penggunaan istilah yang sederhana dan biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari ini tidak lantas menghilangkan semua bentuk keindahannya. Taufiq Ismail masih memperhatikan penggunaan rima dalam bait-bait puisi tersebut.
Bisa dilihat, masing-masing bait dalam puisi di atas mengandung rima yang sama. Contohnya bait pertama (anak judul):
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Bunyi final masing-masing baris sama. Sama-sama diakhiri bunyi -as. Hal ini menunjukkan, aspek keindahan bunyi puisi tetap diperhatikan. Begitu juga dengan bait-bait puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak yang lainnya.
Makna Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak
Melalui puisi ini, Taufiq Ismail sedang mengajak bicara para sineas muda. Pelaku film. Yang merasa ingin bebas.
Untuk Anak-anak Muda Sineas,
Yang Ingin Bebas Tanpa Batas
Di tepi desa kami ada sebuah tebing yang curam
Menghadap ke jurang yang dalam
Di atas tebing itu ada tanah datar tidak mengecewakan luasnya
Di sana belum dewasa kecil sanggup bermain-main leluasa
Berkejar-kejaran, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tertawa-tawa
Bagian bait kedua ini, menggambarkan kondisi desa sebagai metafor dari Indonesia. Anak-anak perumpamaan dari masayarakat Indonesia. Bermain dan tertawa yakni bentuk menikmati hiburan film dan televisi.
Karena penduduk desa cinta pada belum dewasa mereka
Masih waras dan tak mau belum dewasa celaka
Termasuk juga untuk orang-orang dewasa
Maka di tepi tebing dibikinkan pagar sudah lama
Terbuat dari kayu, tua, terbatas kekuatannya
Agar tidak ada yang kepleset terjatuh ke jurang sana
Pada bab ini, Taufiq Ismail membela 'penduduk desa' sebagai perumpamaan dari Negara. Yang waras. Yang membatasi anak-anaknya (masyarakat) biar tidak terjerumus ke jurang (hal negatif) yang berbahaya. Bagi sikap, budi, dan pemikiran. Maka gar tidak terjerumus ke situ dibuatlah pagar atau batasan. Mana yang boleh mana yang tidak. Jadi, pagar ini merupakan perumpamaan dari sensor. Tapi kondisinya sudah tua, dari kayu (rapuh) dan kekuatan yang terbatas. Artinya masih sanggup ditembus. Dilanggar.
Tebing itu lima puluh meter tingginya
Batu-batu besar bertabur di dasarnya
Semak dan belukar di tepi-tepinya
Hewan buas dan ular penghuninya
Kalau orang terjatuh ke dalamnya
Akan patah, cedera, cacat dan gegar otaknya
Bait ini menggambarkan betapa berbahayanya jurang itu. Sangat keras. Berduri, buas. Ini mendakan bahwa jikalau masyarakat hingga terjerumus ke situ sanggup berakibat sangat fatal. Tidak ada kata 'mati' dalam puisi itu. Karena yang jaga yakni wangsit dan perilaku budaya yang rusak dari tayangan film dan televisi. Hingga butuh disensor. Yang paling parah yakni gegar otaknya. Yaitu kondisi rusaknya pedoman belum dewasa generasi penerus bangsa.
Nah, pada suatu hari
Ada belum dewasa ABG berdemonstrasi
Menuntut yang berdasarkan mereka sesuatu yang asasi
Dengan nada yang melengking dan tinggi
Tangan teracung, terayun ke kanan dan ke kiri
Dalam paduan bunyi yang diusahakan harmoni
Bait ini berisi citra adanaya kelompok yang mengatasnamakan hak asasi ingin menghilangkan pagar. Dalam puisi ini, oleh Taufiq Ismail disebut sebagai ABG. ABG identik dengan anak usia labil yang masih belum punya pendirian yang terang dan pikiran yang matang. Jadi, kelompok orang yang ingin menghapus batasan sensor dan hukum yakni orang-orang labil.
"Kami menolak pagar tebing, apa pun bentuknya
Kami menuntut kebebasan sebebas-bebasnya
Bermain, melompat-lompat ke sini dan ke sana
Berkejar-kejaran tak ada batasnya
Apa itu pagar? Kenapa dibatas-batasi?
Tubuh kami ini hak kami
Kami menggunakannya semau hati sendiri
Apa itu pembatasan?
Konsep kuno, melawan kemerdekaan
Cabut itu pagar, semuanya robohkan!"
Bait puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak ini berisi wacana kebijaksanaan yang dibangun oleh para penentang hukum pembatasan (sensor). Dengan dalih bahwa hukum itu kuno, bertentangan dengan kemerdekaan. Sehingga tidak bebas. Seharusnya dilarang ada batasan sama sekali dalam berekspresi.
Demo berlangsung, hiruk-pikuklah terdengar suara
Heboh seantero kampung dan desa
Orang-orang bertanya, ini ada apa
Kok jadi tegang suasana
Barulah situasi jadi agak reda, karena
Ternyata yang berdemo itu, belum dewasa rabun dan buta
"Saudara-saudara, ABG-ABG ini jangan dicerca
Mereka punya kelainan dalam instrumen mata
Banyak yang rabun, mungkin juga buta
Kena virus tiba dari kota, luar desa kita
Konsep tebing dan jurang, tak masuk kebijaksanaan mereka
Tak tampak ancaman kedua-duanya
Beritahu mereka baik-baik, sabar-sabar senantiasa
Masih banyak urusan lain di desa kita."
Kehebohan protes terhadap batasan ini menjadi pembicaraan seluruh bab negara (seantero kampung dan desa). Tapi melalui bait ini disimpulkan pula bahwa, pihak-pihak yang protes dan mengusulkan pembatalan batasan itu yakni orang-orang yang sedang sakit.
Sakit yang dialami oleh 'para ABG' itu yakni virus yang data dari kota, dari luar negeri. Seharusnya, energi itu digunakan untuk membahas hal lain. Yang harus diselesaikan di negeri ini. Bukan sekadar batas antara tebing dan jurang. Maksudnya, itu seharusnya tidak diperdebatkan. Karena bangsa kita masih membutuhkan batasan-batasan itu.
Jadi, inti dari Puisi Tebing Tak Tampak, Jurang Tak Tampak karya Taufiq Ismail ini adalah, adanya orang yang tidak paham bahwa bangsa Indonesia masih membutuhkan batasan (sensor) biar tidak terjerumus pada budaya absurd yang tidak baik bagi bangsa Indonesia. Seharusnya hal itu tidak lagi diperdebatkan dan diprotes. Karena energi bangsa hendaknya digunakan untuk membangun bangsa dan menuntaskan permasalahan. Bukan justru memunculkan masalah.